Ketika Pendekar Teguh “Turun Gunung”
Waktu muda Teguh Mahmudi ( Da'i YPU, Ketua Himpunan Muslim Mualaf Kaloran ) sangat tertarik dengan ilmu bela diri. Ia kemudian bertanya kepada seorang temannya, dimana bisa belajar bela diri. “Kalau ingin belajar kamu harus masuk pesantren,” kata temannya. Persoalannya, Teguh beragama Budha.
Tetapi keinginan Teguh tak bisa dibendung lagi. Ia pun nekad masuk ke pesantren yang dimaksud. Ternyata dalam perjalanannya, di pesantren itulah, dalam usia 16 tahun ia mengucapkan dua kalimat syahadat, tanda awal sebagai seorang Muslim.
Perjalanan selanjutnya tidak mudah bagi Teguh. Ia mesti mencari uang sendiri untuk membiayai pendidikannya. “Di sela-sela belajar di pesantren, saya mencari pekerjaan apa saja di luar untuk mendapatkan uang,” katanya.
Tantangan berat datang dari kakak-kakaknya yang semuanya beragama Budha. Begitu tahu sang adik masuk Islam, mereka menentang keras. “Bahkan ada kakak saya menyebut saya setan,” kata Teguh saat ditemui di rumahnya Oktober lalu. Teguh bergeming. Ia kukuh dengan pilihannya yang baru. Sebab, di pesantren ia jadi paham mana agama yang benar.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun digembleng di pesantren, ghirah Islam Teguh jadi membara. Usai menimba ilmu, ia kembali ke kampungnya, Desa Telaga Wungu, Kecamatan Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Ia ingin mengembangkan Islam di desa yang berada di lereng pegunungan Sumowono itu.
Dari kota Temanggung menuju Telaga Wungu kira-kira setengah jam perjalanan naik sepeda motor. Desa ini terdiri dari beberapa dusun dan di antara dusun itu dipisahkan perbukitan dan lembah. Sebagai daerah pegunungan, sejauh mata memandang nampak hijau karena dipenuhi pepohonan.
Dulu, penduduk Telaga Wungu mayoritas Budha. Hanya beberapa gelintir yang Muslim. Di Kecamatan Kaloran, Vihara (tempat peribadatan agama Budha), bertebaran di mana-mana. Di Telaga Wungu saja ada 6 Vihara. Di seluruh Temanggung tentu lebih banyak lagi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Vihara di Temanggung tercatat ada 128. Dan Vihara terbesar ada di Telaga Wungu. Bahkan di desa ini sedang dipersiapkan sebuah pusat pendidikan Budha di atas lahan seluar 8 hektar.
Awalnya, kata Teguh, hampir semua penduduk Kaloran Muslim. Lalu, saat Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri, banyak masyarakat di beberapa desa di Kaloran yang terseret masuk ke partai tersebut. Bahkan, Telaga Wungu termasuk basis gerakan PKI di Temanggung.
Pasca pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965, menurut Teguh, pemerintah melakukan gerakan pembersihan terhadap PKI dan antek-anteknya. Nah, saat itulah kepala desa Getas dan Kalimanggis, yang keduanya beragama Budha menyerukan agar masyarakat masuk ke agama Budha, bagi yang ingin selamat. “Yang tidak mau dianggap PKI,” kata Teguh yang lahir 43 tahun lalu ini.
Tentu saja semua orang takut dan ingin selamat. Maka secara masif masyarakat Kaloran, termasuk di Telaga Wungu pindah agama, dari Muslim menjadi Budha. Sejak itulah Budha berkembang hingga sekarang.
Keadaan seperti itulah yang menjadi tantangan Teguh yang bertekad terus mengembangkan dakwah di kampung halamannya.
Turun Gunung
Tidak percuma Teguh belajar bela diri, karena ternyata itu menjadi alat dakwah yang ampuh. Tiga tahun belajar bela diri ia mampu menguasai berbagai jurus. Ia juga punya ilmu kebal dan pukulan jarak jauh. “Saya bisa memukul dalam jarak 3 atau 5 meter,” aku Teguh. Tentu dengan tenaga dalam.
Seperti halnya pendekar yang baru “turun gunung”, Teguh hendak mengamalkan ilmunya. Maka beberapa saat setelah pulang kampung, Teguh membuka latihan beladiri. Pesertanya remaja di kampungnya. Seminggu dua kali mereka digembleng Teguh. Khusus setiap Jumat, mereka digembleng mentalnya. Dengan cara seperti itulah Teguh memasukkan nilai-nilai Islam kepada anak didiknya. Sejak itu, nama Teguh mulai dikenal sebagai ustadz sekaligus pendekar.
Sebagian orang merespon positif terhadap program pembinaan remaja yang dilakukan Teguh, tapi sebagian lain ada yang merasa terusik. Mereka yang terusik inilah yang mencoba-coba mengganggu. Tegus berkisah, dalam sebuah perjalanan ia pernah dicegat sekelompok pemuda. Mungkin, mereka ingin menjajal ‘kesaktian’ pendekar baru ini. Teguh pun tak merasa keder sedikit pun. Sambil terus mengamati gerak-gerik musuh, ia mulai mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya. Tiba-tiba seorang lawan merangsek maju hendak memukulnya. Anehnya, belum lagi menyentuh kulit Teguh, dia sudah terpental. Rupanya dia tak kuat menerima serangan tenaga dalam yang dilancarkan Teguh. Tahu temannya terpental, kawan-kawannya jadi ciut nyalinya. Mereka kemudian kabur.
Masih ada ujian lain. Suatu ketika dalam perjalanan pulang dari masjid Teguh dilempari kotoran kambing. Ini mirip kisah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pernah dilempari kotoran unta oleh orang Quraisy. Diperlakukan begitu Rasulullah tetap sabar dan tidak membalas. Bahkan suatu hari saat lewat di jalan yang sama tidak mendapat kiriman ‘hadiah’. Ternyata orang yang suka jail itu sedang sakit. Beliau pun cepat-cepat menengoknya.
Mengacu kepada kisah Rasulullah tersebut, pria yang kini dikaruniai dua anak ini berusaha sekuat tenaga menahan diri. Ia tahu pasti siapa yang melempar itu. Tak lain adalah pemuda tetangganya sendiri. Ia hanya berdoa, semoga kelak pemuda itu mendapat hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah pun mengabulkan doanya. Pemuda itu masuk Islam. “Dia orang pertama yang masuk Islam lewat saya,” kata Teguh tanpa bermaksud sombong. Ia menyadari sepenuhnya, dirinya hanya sebagai perantara, sementara hidayah tetap hak mutlak Allah.
Teguh mengaku tidak pernah gentar. Ia punya senjata yang diandalkan. Semacam azimat atau benda sakti berupa sabuk yang sudah “diisi”. Sabuk ini biasa ia bawa ke mana-mana sebagai alat perlindungan diri. Suatu kali dalam sebuah perjalanan ia merasa tidak nyaman, karena sabuknya lupa tidak dibawa. Entah lantaran merasa tak percaya diri itulah, ia mengalami kecelakan. Syukurnya lukanya tak begitu parah.
Di balik musibah itu ternyata membawa hikmah. Teguh jadi sadar bahwa selama ini telah melakukan perbuatan syirik. “Sejak itu sabuk saya buang,” katanya.
Sejak dakwah berkembang di Telaga Wungu, perlahan-lahan orang-orang Islam yang dulu terpaksa murtad, kini kembali kepada pangkuan Islam. Sekarang di Telaga Wungu, Muslimnya sudah berkembang menjadi sekitar 70 KK. Yang paling membahagiakan Teguh, di antara yang muallaf itu adalah ibu kandungnya sendiri. “Ibu saya masuk Islam tahun 1990, saat berusia 67 tahun,” kata Teguh yang bekerja sebagai pedagang barang pecah belah di Pasar Kranggan, Temanggung.
Kini, Teguh membina sebuah masjid mungil persis di depan rumahnya. Di masjid itu pula ia membuka Taman Pengajian Anak-anak setiap sore. Yang unik, anak-anak yang ngaji itu banyak pula yang orangtuanya beragama Budha. “Termasuk keponakan saya, mereka sudah Islam, tapi orangtuanya masih Budha,” katanya. *Bambang S/Suara Hidayatullah JANUARI 2012
http://majalah.hidayatullah.com/2012/05/ketika-pendekar-teguh-%E2%80%9Cturun-gunung%E2%80%9D/
0 komentar:
Posting Komentar